October 15, 2017

Tak selemah itu

Jika memang pada akhirnya aku tak berhasil meyakinkan diriku sendiri,
maka kita saatnya aku merubah prinsipku.

Pernikahan sejatinya memang untuk ibadah.
Sudah cukup disitu saja.
Maka dengan itu,
aku tak akan lagi merasa “kekurangan kasih sayang”.

Maka aku hanya akan melakukan segala sesuai ajaran.
Tak perlu lagi segala rasa berlebihan.
Toh tak ada bedanya.
Komitmen hanya menua bersama, bukan?

Dengan itu aku tak akan pernah lagi merasa bahwa tak seimbang.
Jadi kalau kau memilih melakukan banyak kesalahan,
kau sendiri yang menanggungnya.
Ingat bahwa aku sering mengingatkanmu.
Walau kau sendiri yang sering mematahkan itu.

Hubungan tak selemah itu.

Di Ujung Persimpangan -yang Kebanyakan Orang Menyebutnya “Masa Lalu”

Sebenarnya apa yang membuat seseorang bertahan untuk selalu melakukan hal yang sama secara berulang?
Seperti memikirkan seorang lain yang sebenarnya hal itu akan sangat menyakitkan.
Pernikahan memang sebuah komitmen untuk “menua” bersama. Melakukan segalanya demi ibadah semata.
Namun, apakah tak apa jika satu pihak terus merasa tak nyaman akan sesuatu yang membelenggu?
Sedang pihak kontra, ia serasa tak kian paham bahwa apa yang ia lakukan membuat tak nyaman.
Namun terkadang, semua orang memilih diam.
Enggan membahas karena ketakutan akan segala jawaban yang tentunya bisa lebih menyakitkan.
Entah penjelasan relevan ataupun tidak, pasti telah menggores luka pada perannya masing-masing.
Sedang satunya, ia hanya berusaha menenangkan semua kecurigaan sementara.
Bertingkah meredam amarah yang kelak sebenarnya bisa kembali.
Pada titik ini, kuberikan kembali argumenku yang lalu.
Bahwa yang mampu mengerti diri kita adalah kita sendiri dengan segala pikiran logika yang kadang tak sama dengan orang lain.

Benar bukan?