Sebenarnya apa yang membuat seseorang bertahan untuk selalu melakukan hal yang sama secara berulang?
Seperti memikirkan seorang lain yang sebenarnya hal itu akan sangat menyakitkan.
Pernikahan memang sebuah komitmen untuk “menua” bersama. Melakukan segalanya demi ibadah semata.
Namun, apakah tak apa jika satu pihak terus merasa tak nyaman akan sesuatu yang membelenggu?
Sedang pihak kontra, ia serasa tak kian paham bahwa apa yang ia lakukan membuat tak nyaman.
Namun terkadang, semua orang memilih diam.
Enggan membahas karena ketakutan akan segala jawaban yang tentunya bisa lebih menyakitkan.
Entah penjelasan relevan ataupun tidak, pasti telah menggores luka pada perannya masing-masing.
Sedang satunya, ia hanya berusaha menenangkan semua kecurigaan sementara.
Bertingkah meredam amarah yang kelak sebenarnya bisa kembali.
Pada titik ini, kuberikan kembali argumenku yang lalu.
Bahwa yang mampu mengerti diri kita adalah kita sendiri dengan segala pikiran logika yang kadang tak sama dengan orang lain.
Benar bukan?